PENEGAKAN
HUKUM YANG MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM
PENDAHULUAN
Masalah penegakan hukum merupakan suatu persoalan
yang dihadapi oleh setiap masyarakat.
Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing,
mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan
hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam
masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu
pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak
terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan
kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar
kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu
terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum.
Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa
membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan
berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa
membeda-bedakan. Meskipun ada pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan
berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya
hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau
organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu
secara diskriminatif. Akhirnya penegakan hukum tidak mencerminkan adanya
kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada
aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karena hukum
diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah
sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang
menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum.
PEMBAHASAN
Ø
Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus
dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility)
bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat
kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu
adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum
tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini,
masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu
peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum
itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk
segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan
bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa
perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat
tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk
menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat
harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari
masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu
pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas
revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual
dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum
tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum
diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan
yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa
menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan
produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang
lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.[1]
Substansi undang-undang sebaiknya
disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus
dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah
asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua
peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh
departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan
ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan
undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat,
bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini,
kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun
dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan
dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar
legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral
rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata
kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari
kesadaran moral tradisional.[2]
Dalam pelaksanaan penegakan hukum,
keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan,
hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap
orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri.
Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[3] Adil bagi seseorang belum tentu
dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai
tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima.
Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya
membuat adanya keadilan saja (Ethische
theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum
tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia,
sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula
hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk
menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama
seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu.[4] Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang
abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim
Ø
Nilai-Nilai Dasar Hukum
Berdasarkan anggapan tersebut di atas
maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi
harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu
hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus
memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu
harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai
dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum..[5] Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan
nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh
karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai
tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi
untuk saling bertentangan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang
pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia
segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada
nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu
telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar
pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung
berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser
nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai
kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi
masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan
saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena
nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai
kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai
dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[6] Dengan demikian kita harus dapat
membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya
kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai
tersebut.
Keabsahan berlakunya hukum dari segi
peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya
penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar
yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan
yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari
kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam menyesuaikan peraturan hukum
dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal
yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena
itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara
ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh
tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat.
Misalnya; seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena
waktu perjanjian sewa-menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai dengan
waktu yang diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan rumah
tersebut karena alasan belum mendapatkan rumah sewa yang lain sebagai tempat
penampungannya. Ditinjau dari sudut kepastian hukum, penyewa harus mengosongkan
rumah tersebut karena waktu perjanjian sewa telah lewat sebagaimana yang telah
diperjanjikan.
Apakah hal ini, dirasakan adil kalau si
penyewa pada saat itu belum ada rumah lain untuk menampungnya? Dalam hal ini,
hakim dapat memutuskan: memberi kelonggaran misalnya selama waktu 6 (enam)
bulan kepada penyewa untuk mengosongkan rumah tersebut. Ini merupakan kompromi
atau kesebandingan antara nilai kepastian hukum dengan nilai keadilan, begitu
juga nilai manfaat atau kegunaan terasa juga bagi si penyewa yang harus
mengosongkan rumah tersebut.
Adalah lazim bahwa kita melihat
efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga
ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang
mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi
sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu
dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita bicara tentang nilai
kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan
hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi
hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber
hukum yang formil.
Sebagaimana diketahui undang-undang itu,
tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu dapat mengatur
segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas. Adakalanya undang-undang
itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya
menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam
menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak
dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama
sekali.
Ø
Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan “pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Di samping itu pula dapat kita lihat
Pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana
seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut di
atas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan
hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara,
maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali
nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living law). Untuk itu, ia harus terjun
ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penemuan hukum lazimnya diartikan
sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya
yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum
yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih
suka menggunakan istilah “pembentukan
hukum” dari pada “penemuan hukum”,
oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah
ada.
Lembaga penemuan hukum ini akan membawa
kita kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena dalam
melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan peristiwa konkrit
yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan
menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interpretasi, tetapi lebih
jauh dari itu kadangkala hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya
sendirinya melalui konstruksi dengan cara Analogi,
Rechtsverfijning dan Argumentum a contrario.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa
dalam hukum adat Indonesia menganut sistim partriar
chaat, segala harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami, janda
tidak berhak mewarisi harta peninggalan suaminya. Kedudukan janda dalam hukum
adat ini dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan, karena itu janda harus
diberikan kedudukan yang pantas di samping kedudukan keturunan anak-anak
keturunan sipeninggal warisan.[7] Tugas hakim adalah menyelesaikan tiap
perkara, meskipun bertentangan dengan undang-undang atau undang-undang tinggal
diam. Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan oleh masyarakat pencari
keadilan itu, berdasarkan hukum yang ditemukan atau dibentuknya sendiri.
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila
suatu perkara yang dimajukan kepada hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang
dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara tersebut, meskipun telah dilakukan
penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam hukum kebiasaan atau hukum
adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa penyelesaian terhadap kasus
tersebut. Dalam hal demikian hakim harus memeriksa lagi sistim hukum yang
menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa ketentuan
ada mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) sesuai dengan pendapatnya.
Membuat pengertian hukum itu adalah
suatu perbuatan yang bersifat mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan
hukum yang bersangkutan. Misalnya, perbuatan menjual, perbuatan memberi, menghadiahkan,
perbuatan menukar dan perbuatan mewariskan secara legat (legateren, membuat
testament) mengandung
kesamaan-kesamaan. Kesamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan (vervreemden) atau mengalihkan.
Berdasarkan kesamaan tersebut, maka hakim membuat pengertian hukum yang
disebutnya pengasingan. Pengasingan itu meliputi penjualan, pemberian,
penukaran dan pewarisan. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum oleh yang
melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda. Elemen yang terdapat
dalam baik penjualan, pemberian, penukaran maupun pewarisan secara legat. Tindakan hakim yang demikian ini
adalah dikenal sebagai perbuatan melakukan konstruksi hukum.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat dan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh.[8]
Semua masyarakat yang masih mengenal
hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik
dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan
dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk
memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut
dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun
tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.[9]
Paham yang menyatakan bahwa hakim tidak
lain dari pada sebagai pengucap undang-undang atau corongnya undang-undang
belaka (La bouchequi prononce les paroles
de loi) telah ditinggalkan, atau tidak dianut lagi dan sudah lama
ditinggalkan.
Menurut van Apeldoorn, hakim harus
menyesuaikan (waarderen)
undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim
dapat menambah (aanvullen)
undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal
yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul
dalam masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu
petunjuk hidup yang umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit,
yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konrit diserahkan kepada
hakim.
Keputusan hakim dapat memuat suatu hukum
dalam suasana “werkelijkheid” yang
menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”.
Hakim menambah undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal
pada kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat.
Undang-undang itu merupakan suatu “momentopname” saja, yaitu suatu “momentopname” dari keadaan di waktu
pembuatannya. Berdasarkan dua kenyataan tadi, maka dapat dikatakan bahwa hakim
pun turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau
dengan kata lain hakim menjalankan rechtsvinding.
Scholten menyatakan bahwa menjalankan undang-undang itu selalu “rechtsvinding”.
Kemandirian hakim dalam menemukan dan
pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong dalam undang-undang,
adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, karena keputusan hakim yang
demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan tidak berlaku sebagai peraturan umum.
Namun keputusan hakim yang didasarkan
oleh hukum yang ditemukannya itu, dalam keadaan
dan waktu tertentu, dapat diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam hal
perkara yang sama dan akhirnya menjadi suatu yurisprudensi yang tetap dan
sekaligus menjadi sumber hukum yang formil.
Kedudukan yurisprudensi di Indonesia
sangat berbeda dengan keputusan hakim yang merupakan “Preseden” sebagaimana yang terdapat di Inggris dan Amerika, seperti
apa yang dikemukakan oleh Gray. Teori Gray dikenal dengan nama teori mengenai All the law is judge made law. Suatu
peraturan barulah menjadi peraturan hukum apabila peraturan itu telah dimasukan
dalam putusan hakim. Anggapan Gray ini berdasarkan peradilan dilaksanakan di
negeri Inggris, di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan dan disebut sebagai
peradilan preseden (Presedenten rechts
praak).
Hakim wajib mengikuti keputusan hakim
yang kedudukannya menurut hirarki pengadilan lebih tinggi, wajib mengikuti
keputusan hakim yang lain yang kedudukannya sederajat, tetapi telah lebih
dahulu membuat penyelesaian suatu perkara semacam, bahkan wajib mengikuti
keputusan sendiri yang dibuatnya lebih dahulu dalam perkara semacam (stare desicis). Hukum yang berasal dari
pengadilan preseden disebut “judge made law” atau “judiciary law” . Terutama di negeri
Inggris sering “judge made law” itu
dianggap lebih penting dari pada “Statute
law” (hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan). Pentingnya “judge made law” itu diperbesar oleh Gray
dalam rumusannya “All the law is judge
made law”.
Fungsi hakim yang bebas untuk mencari
dan merumuskan nilai hukum adat dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan
hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi
rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan
selaras. Dewasa ini di Indonesia telah berkembang faham untuk mengfungsikan
hukum sebagai rekayasa sosial (law as a
tool of social engineering) terutama dalam bidang hukum privat adat menjadi
hukum privat nasional.
Berbekalkan
konsep dan rancangan kebijakan seperti itu, tak pelak para pendukung hukum adat
tak dapat bertindak lain selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk
mengembangkan pendayagunaan hukum dalam masyarakat, atas dasar prinsip-prinsip kontigensi
yang harus benar-benar kreatif. Sekalipun dalam era orde baru badan-badan
kehakiman diidealkan akan menjadi hakim yang bebas dan pembagian kekuasaan
dalam pemerintah akan dihormati dengan penuh komitmen, akan tetapi
harapan-harapan kepada badan-badan ini sebagai badan yang mandiri dan kreatif
untuk merintis pembaharuan hukum-lewat pengartikulasian hukum dan moral rakyat
agaknya terlampau berkelebihan.[10]
Salah satu aspek dalam kehidupan hukum
adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam
hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan
masalah kepastian tersebut adalah masalah dari mana hukum itu berasal.
Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi
lembaga semakin formal. Dalam konteks perkembangan yang demikian itu,
pertanyaan mengenai “sumber yang manakah
yang dianggap sah?” menjadi penting.
Tentang masalah dari mana hukum itu
berasal atau bersumber yang dapat kita anggap sah, dalam ilmu hukum hal ini dapat
ditinjau dari dalam arti kata formil dan
dalam arti kata material.
Sumber hukum dalam arti kata formil
adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk terjadinya hukum positif (ius constitutum) yang mempunyai daya
laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, dengan tidak
mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum tersebut.
Sumber hukum dalam arti kata material,
dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai-nilai (values waarden) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan
keyakinan serta kesadaran hukum bangsa Indonesia (ius contituendum).
Kemampuan para hakim kita agaknya
dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan kenyataan, terlebih lagi
dalam era globalisasi ini. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dengan cepat
berkembang, sehingga para hakim “diharapkan”
dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit dan mengambil keputusan
berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri dan akhirnya dapat menjadi
yurisrpudensi yang tetap dan berwibawa.
Ketidakmampuan para hakim Indonesia
untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan hukum
nasional itu sesungguhnya tidak hanya bersebab pada status para hakim (sebagai
Pegawai Negeri) yang sebenarnya kurang menjamin kemandiriannya, akan tetapi
juga oleh sebab lain yang terikat pada doktrin dan tradisi, yang menentukan
bahwa hakim tidak boleh menyimpang dari undang-undang, tetapi sepenuhnya harus
tunduk pada undang-undang atau sebagai corong undang-undang (La bouche qui pronounce les paroles de loi).
Doktrin dan tradisi yang dianut dalam
badan-badan pengadilan di Indonesia, telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai
corong undang-undang yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah
ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di
Indonesia telah terlanjur sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat
silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara
berfikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak
dari kasus-kasus untuk mengembangkan case
laws.[11]
Secara formil yang menjadi sumber hukum
bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah: segala peristiwa-peristiwa bagaimana
timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari mana
peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga
masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina.
Namun demikian hakim dalam rangka
menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber-sumber hukum
dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti formil tidak
dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang diperiksanya.
Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyesuaikan undang-undang
dengan peristiwa yang konkrit, mefungsikan
hakim untuk turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana
yang tidak, atau bertindak sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan
dan kepastian hukum.
Menurut von Savigny hukum itu
berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap
peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang,
tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.
Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang
tertutup (logische Geschlos senheit),
pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa,
hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu
terus-menerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi,
bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistim
hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim
tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia
harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.
Setiap undang-undang pada dasarnya
dibentuk secara in abstracto atau
dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undang-undang hanya merumuskan
aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di bawah
penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit,
yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu.
Hakim dalam menyesuaikan peraturan
perundang-undangan dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran serta kepastian hukum (rechts
zekerheid), harus dapat memberi makna dari isi ketentuan undang-undang
serta mencari kejelasan dengan melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan
kenyataan, sehingga undang-undang itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan
dengan peristiwanya.
KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan penegakan hukum,
keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan,
hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap
orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri.
Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Kalau kita bicara tentang nilai
kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan
hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi
hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber
hukum yang formil.
Sebagaimana diketahui undang-undang itu,
tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu dapat mengatur
segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas. Adakalanya undang-undang
itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya
menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya.
Salah satu aspek dalam kehidupan hukum
adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam
hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan
masalah kepastian tersebut adalah masalah dari mana hukum itu berasal.
Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga
semakin formal
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, M. Solly, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung:
Mandar Maju, 1989.
Mertokusumo, Sudikno,
Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,
Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 1994.
, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002.
Peraturan dan Undang-undang
Republik
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.
Republik
Indonesia, Republik Indonesia, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor
8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana.
Republik
Indonesia, Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
[1] Selanjutnya dijelaskan
bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah
geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik;
(3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah
ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik;
dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya
adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, “Serba-serbi
Politik dan Hukum”, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 48 dan 94-96.
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya”, Cetakan Pertama, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 380.
[3] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”,
(Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[4] Hakim diberi kesempatan
menggolongkan peristiwa-peristiwa hukum sebanyak-banyaknya di dalam suatu
golongan, yakni golongan peraturan hukum itu. Yakni, hukum yang berlaku pada
saat ini atau hukum yang berlaku pada saat yang tertentu. Misalnya,
peraturan-peraturan hukum dalam KUH Pidana, peraturan-peraturan pemerintah
daerah yang berlaku sekarang atau yang berlaku pada masa lalu sebagai hukum
positif dan hukum alam serta hukum tidak tertulis lainnya. Peraturan hukum
sebagai peraturan yang abstrak dan hypotetis,
dengan demikian hukum itu harus tetap berguna (doelmatig). Agar tetap berguna hukum itu harus sedikit mengorbankan
keadilan. E. Utrecht, “Pengantar Dalam
Hukum Indonesia”, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 24-28.
[5] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : Alumni, 1986),
hal. 21.
[6] Ibid.
[7] Lihat, Mahkamah Agung dalam Putusan
tanggal 2 Nopember 1960, Reg. No.302 K/Sip/1960, berkesimpulan bahwa: “hukum adat
di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan selalu
merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti, bahwa
sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di tangan
janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau
kawin lagi, sedang di berapa daerah Indonesai di samping menentukan ini mungkin
dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan, sijanda
perempuan berhak atas bagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak
kandung dari sipeninggal warisan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, tidak
dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi
hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti
oleh hakim lain dalam hal perkara yang sama. Namun sebagai penemuan hukum dari
hakim yurisprudensi ini cukup berharga sebagai faktor pembentukan hukum
nasional.
[9] Lihat, Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No. 4
Tahun 2004.
[10] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, (Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 1994), hal. 244.
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, hal. 244.