Mekanisme Pembuktian Dalam Peradilan Islam
Perkara hukum merupakan perkara yang amat penting. Dengan patokan hukum itulah qâdhi (hakim) membuat keputusan terhadap pihak-pihak yang berperkara di pengadilan. Keputusan itu memiliki posisi yang amat penting sifatnya, yang memaksa. Karena itu, betapa fatalnya jika keputusan qâdhi itu salah; semisal menghukum orang yang bersalah, melepaskan orang yang berbuat jahat, atau memberikan kepada seseorang sesuatu yang bukan haknya.
Realitas ini jelas menunjukkan pentingnya hukum yang benar dan adil. Untuk itu, Islam telah menyodorkannya, termasuk dalam hukum tentang pembuktian.
Peran Qâdhi
Qâdhi adalah pihak yang menyampaikan hukum suatu perkara yang bersifat mengikat pihak yang berperkara. Abu Ya’la al-Farra telah merinci kewenangan seorang qâdhi antara lain: menyelesaikan persengketaan baik dengan mendamaikan atau menetapkan hukum yang telah pasti; memenuhi hak-hak orang-orang yang terhalang mendapatkan haknya setelah ditetapkan berdasarkan pembuktian; menetapkan wali bagi orang-orang yang dilarang untuk melakukan transaksi dan pembatasan (al-hijr) seperti orang gila, anak kecil, dan orang idiot; menikahkan perempuan yang tidak memiliki wali; menjaga kemaslahatan dengan mencegah pelanggaran di jalan dan tempat-tempat lainnya; menegakkan hudûd; meneliti saksi dan amanahnya; memperlakukan sama antara yang kuat dan lemah dalam hukum, dan tidak mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara.1
Dalam struktur pemerintahan Islam fungsi qâdhi dibagi menjadi tiga yaitu: qâdhi yang menangani perkara muamalat dan ‘uqûbât yang terjadi di tengah-tengah masyarakat; al-muhtasib, qâdhi yang menangani pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan qâdhi mazhâlim yang menangani perselisihan yang terjadi antara rakyat dan pejabat negara.
Prosedur
Keputusan hukum atas dua pihak yang bersengketa tidak dapat diputuskan sebelum diajukan ke pengadilan. Hal ini didasarkan pada riwayat Abdullah bin Zubair ra. yang berkata:
قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَىِ الْحَاكِمِ
Rasulullah saw. menetapkan bahwa dua pihak yang bersengketa didudukkan di depan qâdhi (HR al-Hakim dan menurutnya sahih. Namun, Albani men-dhâ’îf-kannya).
Adapun untuk tindakan kriminal yang masuk dalam kategori hisbah dan mukhâlafat, keputusan pengadilan tidak harus dilakukan di dalam pengadilan, namun dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja saat kejadian perkara.2 Hal ini karena qâdhi hisbah merupakan petugas negara yang secara proaktif melakukan amar makruf dan nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Ia sekaligus berwenang menjatuhkan sanksi yang mendidik bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan tindakan yang menggangu kemaslahatan umat dan menimbulkan dharar seperti pembuat mata uang palsu, pedagang yang curang dalam timbangan, orang yang meninggalkan shalat, pria dan wanita yang berkhalwat, dsb.3
Di pengadilan qâdhi yang akan memutus-kan perkara harus mendengarkan keterangan kedua pihak yang bersengketa. Rasulullah saw. bersabda kepada Ali ra.:
فَإِذَا جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْكَ الْخَصْمَانِ فَلاَ تَقْضِيَنَّ حَتَّى تَسْمَعَ مِنَ الآخَرِ كَمَا سَمِعْتَ مِنَ الأَوَّلِ فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَتَبَيَّنَ لَكَ الْقَضَاءُ
Jika duduk di hadapanmu dua orang yang berperkara maka janganlah engkau memutuskan hingga engkau mendengarkan pihak lain sebagaimana pihak yang pertama, karena hal itu akan lebih baik sehingga jelas bagimu dalam memutuskan perkara (HR al-Hakim. Menurutnya sahih dan disepakati oleh ad-Dzahabi).
Selain itu qâdhi juga harus berada dalam kondisi yang normal seperti tidak dalam keadaan marah, lapar atau dalam tekanan pihak-pihak tertentu sehingga mengganggu konsentrasinya dalam memutuskan perkara. Hal didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
لاَ يَقْضِى الْحَكَمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Seorang qâdhi tidak boleh memutuskan di antara dua pihak yang berperkara, sementara ia dalam keadaan marah (HR Abu Daud, Ibnu Majah. Albani mengatakan hadis ini sahih).
Hadis ini menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengandung illat, yaitu larangan memutuskan bagi qâdhi ketika pemikirannya dalam keadaan kacau. Dengan demikian, keadaan apa saja yang dapat membuat pemikiran qâdhi kacau maka pada saat itu ia diharamkan untuk memutuskan perkara.
Hukum Pembuktian
Untuk membuktikan benar atau tidaknya dakwaan pendakwa terhadap terdakwa maka proses pembuktian merupakan perkara yang amat menentukan. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan jenis pembuktian yang diakui legalitasnya yaitu: pengakuan pelaku (QS 2: 225), sumpah (QS 2: 84), saksi dan dokumen tertulis (QS 2: 282).
a. Pengakuan dan sumpah.
Jika seseorang telah mengaku telah melakukan suatu tindakan kriminal di pengadilan maka qâdhi tidak serta merta menerima pengakuan itu hingga ia yakin bahwa pengakuan tersebut lahir dari kesadaran orang tersebut. Hal ini didasarkan pada sikap Rasulullah saw. yang tidak langsung menerima pengakuan Maiz yang mengaku telah berzina. Abu Abdullah bin Buraidah meriwayatkan: Maiz bin Malik al-Aslami mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasul, saya telah menzalimi diri saya dan telah berzina. Saya berharap Anda bersedia mensucikan saya.” Namun, Rasul menolaknya. Pagi harinya ia datang lagi dan berkata, “Ya Rasul, saya telah berzina.” Lalu ia ditolak lagi. Rasul kemudian mengirim utusan kepada kaumnya dan bertanya, “Apakah kalian mengetahui ada yang buruk pada akal Maiz dan kalian mengingkarinya?” Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui kecuali akalnya sama dengan orang shalih di antara kami.” Lalu Maiz datang ketiga kalinya. Rasul mengutus lagi utusan untuk mengetahui akalnya, namun tidak ada yang ganjil darinya. Tatkala ia datang keempat kalinya maka Rasul membuatkan lubang untuknya dan memerintah-kan orang-orang untuk merajamnya. Lalu ia pun dirajam (HR Muslim) .
Hadis ini menunjukkan bahwa pengakuan bisa menjadi bayyinât (bukti) oleh qâdhi dalam menetapkan keputusan.
Adapun sumpah yang dijadikan sebagai bayyinât sumpah yang atas peristiwa yang telah terjadi. Itu dilakukan setelah seseorang diminta oleh qâdhi di pengadilan. Sumpah pihak pendakwa atau terdakwa tidak sah jika tidak diminta oleh qâdhi. Demikian pula isi sumpah adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh qâdhi bukan yang dimaksudkan oleh pihak yang bersumpah. Jika, misalnya, ia bersumpah dengan ungkapan tauriyah (peryataan bersayap) atau dengan syarat yang disamarkan maka yang berlaku adalah apa yang dimaksudkan oleh hakim.4 Ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:
الْيَمِينُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ
Sumpah itu berdasarkan niat dari pihak yang meminta sumpah (HR Muslim).
b. Kesaksian.
Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah (QS 2: 283; QS 5:8). Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:
إذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ فَدَعْ
Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya)
Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya—menurut pandangan orang-orang—keluar dari sifat istiqamah.5
Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan (al-khâdim) yang lari dari pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa.6 Penetapan layak tidaknya seseorang menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qâdhi di dalam pengadilan.
Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi laki atau yang setara dengan jumlah tersebut, yaitu satu saksi laki dan dua perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah dengan sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara dengan seorang saksi laki-laki.7 Meski demikian, syariah telah memberikan pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus perzinaan disyaratkan empat saksi; penetapatan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi; dan kegiatan yang hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan.8
c. Dokumen tertulis.
Penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang tak terpisahkan dalam perkembangan tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fikih dan hadis. Demikian juga pada masa Rasulullah hingga Khalifah dan qâdhi setelahnya juga banyak bertumpu pada dokumen.9 Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertandatangan, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan.
Pada dasarnya dokumen bertanda tangan adalah sama statusnya sama dengan pengakuan dengan lisan. Oleh karena itu, dokumen tersebut membutuhkan penetapan. Jika seseorang mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam sebuah dokumen adalah miliknya maka dokumen tersebut sah dijadikan bukti. Namun, jika ia mengingkarinya maka dokumen tersebut tertolak.
Adapun untuk dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah seperti surat nikah dan akte kelahiran maka ia tidak membutuhkan adanya penetapan terhadap keabsahannya. Oleh karena itu, dokumen langsung dapat dijadikan sebagai bukti.
Adapun dokumen tertulis yang tidak bertanda tangan seperti surat, pengakuan utang, faktur belanja dan sebagainya maka statusnya sama dengan dokumen yang bertanda tangan, yaitu membutuhkan penetapan bahwa orang tersebut yang menulis atau memerintahkan menulis atau mendiktekan tulisan tersebut.
Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika dihadirkan di pengadilan. Jika pendakwa tidak mampu menghadirkan dokumen yang dijadikan bukti tersebut maka ia dianggap tidak ada. Namun demikian, jika dokumen tesebut berada di tangan negara maka qâdhi memerintahkan untuk dihadirkan. Jika dokumen tersebut dinyatakan penggugat ada pada tergugat dan diakui oleh tergugat maka tergugat harus menghadirkannya. Jika ia menolak untuk menghadirkannya maka dokumen tersebut dianggap ada. Jika tergugat menolak bahwa dokumen tersebut ada padanya maka ia dibenarkan kecuali jika penggugat memiliki salinan atas dokumen tersebut maka ia harus mampu membuktikan bahwa dokumen tersebut ada pada pada tergugat. Jika tidak dapat dibuktikan maka tergugat harus disumpah bahwa ia tidak memilikinya. Jika ia menolak bersumpah maka salinan dokumen tersebut dianggap benar dan menjadi alat bukti bagi pendakwa.
Aspek Ruhiah
Memang Islam menjadikan bukti yang lahiriah yang menjadi dasar dalam pengadilan sehingga peluang terjadinya rekayasa oleh pihak yang berperkara dalam menghadirkan bukti-bukti di pengadilan dapat saja terjadi. Hal ini memang tidak ditampik oleh Islam. Meski demikian, patut dicatat bahwa syariah sangat mengecam tindakan tersebut dan pelakunya diancam dengan azab neraka. Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku dan boleh jadi sebagian dari kalian lebih fasih dalam berargumentasi dari yang lain sehingga saya memutuskan berdasarkan apa yang saya dengar darinya. Siapa yang saya berikan padanya hak saudaranya maka janganlah ia mengambilnya karena sesungguhnya saya telah memberikan untuknya bagian dari neraka (HR al-Bukhari-Muslim).
Peringatan yang sama juga ditujukan kepada para saksi. Betul bahwa ia dapat bersaksi dengan saksi palsu sehingga dapat mempengaruhi keputusan pengadilan. Namun, setiap saksi akan diingatkan bahwa Allah senantiasa menyaksikan apa yang mereka nyatakan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17: 36). Di samping itu, kesaksian palsu merupakan salah satu perbuatan yang sangat dikecam di dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَوْلُ الزُّورِ أَوْ قَالَ شَهَادَةُ الزُّورِ
Dari Anas dari Nabi saw. beliau bersabda, “Dosa-dosa yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh orang, durhaka kepada kedua orangtua dan berkata bohong atau beliau bersabda bersaksi bohong (HR al-Bukhari).
Demikian pula halnya dengan qâdhi. Peluang untuk memanipulasi hukum sangat terbuka lebar karena di tangannyalah keputusan berada. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan para qâdhi agar tidak menyimpang dari hukum Allah SWT.
Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw. beliau bersabda, “Qadhi ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. Qâdhi yang masuk surga adalah qâdhi mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementara qâdhi yang mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka. Demikian pula qâdhi yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR Abu Daud dan menurutnya sahih).
Dengan sumber hukum yang jelas dan adil, qâdhi yang memiliki integritas tinggi dan proses yang jelas dan tidak bertele-tele maka pencapaian keadilan di dalam sistem Islam bukanlah ‘barang mahal’ yang sulit dijangkau oleh masyarakat sebagaimana pada sistem Kapitalisme. Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah? Wal-Lâh a’lam bish Shawâb. (Muhammad Ishak, Lajnah Tsaqafiyyah-HTI).
Catatan kaki:
1 Abu Ya’la al-Farra, al-Ahkamu as-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), hlm. 65-66
2 Ahmad ad-Daur, Ahkamu al-Bayyinat, (tp, 1958) hlm. 29
3 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, ( Jeddah: Dar al-Ilmu al-Fawaid, tt), hlm. 629. Lihat juga Al-Mawardy, al-Ahkamu ah-Sulthaniyyah, (Dar al-Fikr, 1960) hlm. 240
4 Ungkapan tauriyah dan syarat yang disamarkan dilakukan oleh seseorang untuk menghidari tuduhan namun disisi lain ia juga tidak ingin bersumpah palsu.
5 Ahmad ad Daur, Ahkamu al-Bayyinat, (ttp, 1965), hlm.9
6 Ibid, hlm. 22
7 Ibid, hlm. 17
8 Ibid, hlm. 20
9 Ibnu al-Qayyim, op.cit., hlm. 547.