Karakter Produk Hukum
Pada periode ini beberapa produk legislasi dikeluarkan. Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menyangkut lembaga perwakilan dan pemilihan umum, tetapi tidak semuanya dapat dilakukan sesuai dengan tujuannya. Beberapa UU tentang pemerintah daerah diundangkan, dan prodk hukum agraran nasional telah digarap dalam waktu yang panjang pada periode ini, tetapi baru bisa final sesudah terjadi perubaan sistem politik atau periode sesudahnya.
1. Hukum Pemilu
A. Pemilu dan partai politik
Pemiilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politkus-politikus” yang akan mewakili dan membawa suaara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan ata kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol). Olebh sebab itu, adanya partai politik merupuakan keharusan dalam kehidupan politik mmdern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengatifka edan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan komrpomi bagi pendapat yang berlawanan, serta menyediakan saarana sukses kepemimpinan politik secara sah dan damai. Dengna demikian , sperti halnya pemilu, parpol pun merupakan komponen pentng dari negara demokrasi. Perlu ditegaskan pembahasan hukum Pemilu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan sistem yang mengatu tentang susunan dan kedudukan lembga perwakilan, sebab Pemilu diselenggarakan dalam rangka mengisi lembaga perwakilan. Pemilu mutlak diperlukan oleh negara yang manganut paham demokrasi.
B. Wawasan konstitusional
Semua konstitusi yang pernah berlaku pada periode ini, yaitu UUD 1945, konstitusi RIS, dan UUDS 1950 menganut paha demokrasi sebagi salah satu asasnya yang dundamental. Demokrasi yang dianutnya adalah demokrasi perwakilan. Pilihan atau cara perwakilan ini lazi dipakai di negara-negara demokrasi, karena deomokrasi langsung dalam arti yang sebenarnya hampir tidak mngkkin dilaksanakan di dalam negara modern. Begitu besar serta semakin tajamnya spesialisasi masnyarakat modern tidak memungkinkan asas kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung, dalam arti melibatkan sluruh rakya dalam proses pengambilan ketusan publik dan dalam penyelenggaraan egar. Yang lebih memungkinkan dan relistis adalah menggunakan mekanisme demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan ini hak demokrasi seluruh rakyat dilakukan oleh sebagian dri mereka yang berkedudukan sebagai wakil. Agara para wakil itu bertindak atas nama rakyat maka pelaksaaanya biasanya menggunakan lembaga pemiliha umum. Jadi pemilihan umum adalh cara untuk memilih wakil-wakli rakyat yang duduk di lembaga perwakilan (parlemen). Berdasarkan pemikiran seprti itu , pemiluuu menjadi bagian penting konstitusi . Artnya di dalam wawasan konstitusional terdaat pula secara iinheren prinsip tenang lembagn pemilu.
Ketiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia juga mennutu adanya lembaga pemilu, kendati tidak semua UUD menyebutnya secar eksplisit. UUD 1945 misalnya, tidak memuat isitilah pemilu itu. Tetapi dapat dikatakan UUD ni memuatsecara implisit ketentuan adanya pemilu sebaba aparatur demokarasi yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut (seperti adanya MPR dan DPR) memang menntu adanya lembaga pemilu. Di sinilah terlihat urgensi pemilu sebagai konnsekuensi logs dari paham keaulatan rakyat seperti yang , minimal.=, dimuat di dalam alinea IV pebukaan dan pasal ayat (2) UUD 1945. Alasan lain mengapa wawasan konstitusional di bawah UUD 1945 dikatakan mengenal lembaga pemiliu, yaitu bahwa menurut UUD hukumm dasar yang berlakuu bukan hanya yang tertulis (UUD), tetapi juga yang tidak tertulis (konbensi). Sehingga selain logika demokrasi perwakilan, posisi lembaga pemilu dapat pula ditemukan di dalam konvensi sebagai bagian dri konstitusi. Dan , aling tidak, masih ada satu alasan lagi, yakni, dari pendekatan historis terjadinya UUD 1945. Serperti deketahui, di dalam ilmu hukum penafsiran historis mrupakan salah satu cara untuk memahami maksud suatu aturan hkum. Utnuk memahami UUD 1945, apakan itu harus ada atau tidak, dpat juga dipelajar dari sejarah penyeyusnannya. Kita dapat mencari pegertian konteks historis UUD, disamping karena cara tafsir tersebut diterima sercadra teoretis dalam ilmu hukum, kita juga dapat mencatat bahwa UUD 1945 menyarankan kita untuk memahami konteks itu.penjelsan (bagiaan umum, angka I alinea ketiga) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
“undang-undang dasar negara manapun tidak dapat dimengerti hanay dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya undang-undang dasar dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagamianan terjadinya teks itu, harus diketahui keterang-keterangnnya da uga harus diketahui dalamsuasana apa teks itu dibikin.”
Berdasarkan cara penfsiran secara hisoris, kita dapat mencarai lembaga pemilu itu dalam serjarah perdidangan BPUPKI. Di sini penulis dapat mengambil contoh ketika Soekrno mengusulkan dasr negara Pancasila, terutam ketika mengraikan sila kerakyatan, pada tanggal 1 Juni 1945 ia sudah menyebu-nyebut tentang pemihan wakil-wakil rakyat itu . Ia antara laind enga bersemangat mengatakan sebagai berikut:
Saya yakin syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia adalah permusyawaratan, perwakilan..jikalau memang kita rakyat islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan islam...kalauu misalnya orang kristen ingin bahwa tiap tiap letter di dalam peraturan-peraturan Negara Indonesia menurut Injil, berkerjalan matian-matian , agara supaya sebgaian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen.
Bahwa di dalam serjara persidangan BPUPKI Soekarno pernah berbicara seperti itu berarti sejak awal sudah ada pemikiran tentang “leembaga Pemilu” di kalagan para pendiri Negara Republik Indonesia. Seruan Soekarno agar “bkerja sehebat-hebanya” bagi orang -orang islam dan “bekerja matian-matian” bagi orang-orang Kristen untuk berkompetisi mengirim wakil sebanyak-sebanyak di lembaga perwakilan, beerarti bekerja keras dan mati-matian untuk memperoleh suara sebanyak-sebanyak di dalam pemilu. Dengan demikian, bak didekati dari logika demokrasi dan cakupan konvensi maupun didekati dari sudut penafsiran historis, maka lembaga Pemilu merpakan tuntutan konstitusi. Dengan kata lain, lembaga pemilu merupakan bagian inheren dari wawasan konstitusional ketatanegaraaan dii Indonesian berdaasrkan UUD 1945.
Berbeda dengan UUD 1945, konstitusi RIS DAN uuds 1950 memuat tentang pemilu seccara eksplisit. Konstitusi RIS memuat hal teebut dalam pasal 34, sedangkan UUDS 1950 memuatnya dalam pasal 35, pasal 57 dan pasal 135 (2) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34 Konstitusi RIS:
“kemauan rakyat adalah dasar kekuaaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam peilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun meurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”
Pasal 35 UUDS 1950
“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu diyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan ”
Pasal 57 UUDS 1950
“anggota-anggota dewan perwakilan rakyat dplih dalam suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syat-syarat dan menurut aturan-aturan ang ditetapkandengan undang-undang”
Pasal 135 ayat(2) UUDS 1950
“anggota-anggota konstituante dipilh oleh warga negara Indonesian dengan dasr umum dan dengan cara bebas dan rahasian menurut aturan-aturan yag ditetapkan dengan undag-undang.”
C. Gagasan yang teralang RUU Pemilu menjadi pingpong
Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelengarakan pemilu selalu menjadi program pemerintah. Pada tanggal 5 Oktober 1945 sudah dinyatakan untuk segera diadakan pemilu secaranasional dan ketika pada tanggal 14 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang susunan Kabinet Sjahrir II, dicantumkan juga pernyataan bahwa tindakan tindakan demokratis yang laian yang harus segera dilaksanakan adlah mengadakan pemilihan umum.
Bahwakan pada tahun 1946 di Kediri sudah diselenggarakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat berdasarkan UU kereienan Kediri No 22 dan No. 23 yang menggunakan sistem bertingkat. Mula-mula rakyat memilih anggota dewan desa dalam jumlah tertentu, kemudian para anggota dewan desa yang erpilih itu memilih anggoa Baadan Perwakilan Rakyat Daeerah Kediri. Begitu juga di Keredidenan Surakarta pada tahun 1946 telah diselenggarakan pemilihan anggota BBadan Perewakilan Rakyat berdasarkan UU keresidenan Surakarta No 4 Tahun 1946.
Setelah keluarnya UU No. 27 Tahun 1948, pemilihan lokal telah pula diselenggarakan di Minahasa 1951, Sangir-Talaud 1951, Kotamadya di Yoyakarta Didasrkan Pada UU No. 7 tahun 1950 dan PP No. 36 Tahun 1950 yang menggunakan sistem pemilihan bertingkat, yakni para para pemilih memilih pemilih dan mereka yang terpih sebagai pemilih itulah yang bertugas memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat. Adapun pemilihan di mkasaaar 1952 mengunakan sistem langsung tetapi terbatas. Artinya yang diberi hak untuk memilih anya mereka yang dapat membaca dan menulis. Pemilihan lokal tersebut berdaskan UU No. 27 Tahun 1948 sudah ada UU pemilu nasional tetapi uu tersebut tidak dapat dilaksanakan diseluruth wilayah Republik Indonesia karena revolusi kemerdekaan senan gberlangsung.
UU No. 27 Tahun 1948 kemudian diperbarui dengan UU No 12 Tahun 1949 yang menganut sistem pemiihan bertingat.. Artinya anggota lembaga perwakilan dipilih oleh orang-orang tertentu yang dipilih untuk memilih. Di dalam UU ini tidak diadakan pengangkatan lagi.
Dengan demikian, sejak penggantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS meskipun sudah ada UU tentang Pemilu tingkat Nasional, namun gagasan pemilu tidak pernah bisa direalisasikan. Persoalannya adala bagaiamana keanggotaan lembaga perwwakilan diatur pengadaanya.
Seprti telah disinggung di atas, lembaga perwakilan yang pertama di Indonesia adalah Komite Nosional Indoesia di tingkat pusat (KNIP) komite ini sesuai dengan ketentuan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945, semula meruakan komite pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR dan DPA sebelum lembaga-lembaga konstitusional itu apat dibentuk sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Namun setelah keluarnya maklumat No. X Tahun 1945 komite ini diberi fungsi parlemen. Untuk pertama kali aggota KNIP diangkat oleh presiden pada tanggal 29 Agustus yang jumlahnya 135 orang. Kemudian pada tanggal 16 Oktober 1945, atas ususl KNIP, ditambah lagi menjadi 188 orang. Jumlah anggota inii berbeda dengan data dimmuat di dalam buku seperemppat abad dewan perwakilan rakyat RI yang menunjukkan perkembangan jumlah keanggotaan KNI sampapi dngan bulan November 1945, yaitu 103 orang pada masal disang I (1\29 Agustus 1945), 106 orang pada sidang II (16-17 Oktober 1945), dan 132 orang (25-27 November 1945). Menurut ismail sunny sampai bulan Juli 1946 anggoa KNIP berjumlan 200 orangkarena selama enam bulan sebelumnya presiden telah mengangkat 12 orang sebagai tambah atas 188 orang yang ada sebelumnya. Angka ini berbeda dengan angka yang ditulis oleh Binan R. Saragih yang pada masa sidang IV (28 Februari-3 Maret 1946) mencatat jumlah anggota KIP 203 orang. Kemudian presiden mengusulkan agar KNIP ditambah anggotanya supaya lebih representatif. Hal it berdasrkan kenyataan bahwa sebanyak 24% anggota KNIP berasal dari partai-partai kecil dan golongan pekerja tidak mempunyai wakil. Sedangka dilluar pulau jawa dan golongan etnis yang minoritas mempunyai wakil yang jumlannya terlalu kecil. Pada tahun 1946 dikeluarkanlah UU No. 12 Tahun 1946 tentang Pembentukan KKoite Nosional Pusat yang emmuaat komposisi dan ara pengangkatan kenggotaan KNIP. Di dalamnya. 66
D.
B.
2. a